Yusuf Islahuddin Kholid pada acara Mukernas Pemuda PUI

Oleh : Yusuf Islahuddin Kholid (Ketua Departemen Pengembangan SDM Strategis PP Pemuda PUI)

5 April 1952 di Bogor, momen bersejarah kembali tercipta di antara rentetan sejarah yang terjadi di waktu itu. Ketika negeri ini cenderung sedang diuji dengan situasi perpecahan dalam berbagai organisasi sosial masyarakat, Persatuan Ummat Islam (PUI) muncul sebagai anak zaman dalam mematri persatuan bangsa. PUI tercipta dari proses fusi dua organisasi, Perikatan Ummat Islam yang berpusat di Majalengka dengan tokohnya KH. Abdul Halim dan Persatuan Ummat Islam Indonesia yang berpusat di Sukabumi dengan tokohnya KH. Ahmad Sanusi. Kedua organisasi ini merupakan bagian dari 4 organisasi penyokong Masyumi, selain Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Bukan suatu hal yang berlebihan bila kita sebutkan bahwa PUI berdiri ketika kecenderungan organisasi sosial masyarakat terpecah di waktu itu. Salah satu alasannya, karena di hari dan tanggal yang sama dengan Fusinya, Nahdlatul Ulama memutuskan untuk berpisah dengan Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Berbicara PUI bukan hanya berbicara tentang peristiwa 1952. Tapi jauh sebelum itu di tahun 1911, awal gerakan ini sudah bergejolak di Majalengka, Jawa Barat. Sepulang belajar di Mekah, KH. Abdul Halim sebagai ulama muda yang masih berusia sekitar 24 tahun mulai membangun lembaga yang dinamakan Majlisul Ilmi. 
Lembaga inilah cikal bakalnya Perikatan Ummat Islam sebelum berfusi, yang dalam perjalanannya mengalami beberapa kali perubahan nama, sebagai bentuk strategi dakwah di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Nantinya Majlisul Ilmi ini berubah menjadi Hayatul Qulub (1912), Persyarikatan Oelama (1916) dan Perikatan Ummat Islam. Hal yang serupa juga dialami oleh PUII di Sukabumi yang sebelumnya bernama Al Ittihadiyatul Islamiyah (AII).
Menarik bila kita cermati lebih dalam, bahwa embrio gerakan PUI yang disebut Majlisul Ilmi ini adalah sebuah lembaga yang memulai gerakannya dari sebuah langgar atau masjid kecil, yang dinamai Masjid Pusaka. Sampai hari ini, masjid tersebut masih tetap berdiri di tempat yang sama. Sebuah masjid di dalam komplek Pondok Pesantren Daarul Uluum PUI Majalengka.
Tak ada sesuatu gelombang yang besar, kecuali dimulai dari riak air yang kecil. Seperti itu pula Majlisul Ilmi, sedikit demi sedikit mulai memberi pengaruh untuk masyarakat daerahnya waktu itu. Gerakan masjid yang konsen di bidang pendidikan bertransformasi menjadi gerakan organisasi masyarakat islam. Pada akhirnya, organisasi ini menjadi solusi perlawanan melawan kolonialisme yang berbicara gagasan-gagasan besar, tentang negara, ekonomi umat, politik dan tentunya kemerdekaan.
Bermula dari masjid, semangat ini terinspirasi dari apa yang dilakukakan oleh Rasul SAW. Tak ada bangunan yang beliau bangun bersama para sahabat di awal hijrahnya, melainkan sebuah masjid. Masjid sebagai pusat kekuatan nyata dan simbolis. Dari masjid, peradaban itu menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Gerakan masjid membawa suatu keberkahan yang harus kita sebarkan ke seluruh penjuru negeri, bila perlu seluruh sisi kulit bumi. Karena berislam dan berjamaah itu nikmat dan amanat yang harus ditunaikan kepada orang-orang yang belum merasakannya. 
Gerakan PUI memiliki ruh gerakan masjid. Dan gerakan masjid adalah gerakan dakwah nabi. Dari masjid kita diseru untuk bersatu, bersatu dalam bingkai Persatuan Ummat Islam. (Zoom)

Written by puijabar

This article has 2 comments

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *